Senin, 14 Mei 2012

Untukku, Mu Juga Dia, Jamaah Fesbukiyah Fillaah

14/5/2012 | 23 Jumada al-Thanni 1433 H | Hits: 652
Oleh: Ghina Shafirah

Kirim Print

Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com
1#
Yahoo-di itu pasti tertawa merasa hebat
Ketika Facebook jadi ajang debat..
Ribut dengan banyak pendapat..
Katanya sih demi umat..
Ramai hujatan berkata Antum ini bid’ah..
Ngomong tanpa arah..
Ana lebih paham alurnya..
Ke laut saja lah..
Belum lagi pengakuan Jamaah ana ahlus sunnah..
Calon-calon ahli surga..
Jamaah Antum tak ada apa-apanya..
Yang diurus dunia semata..
Eh ribut masih lanjut ternyata..
Saling hujat bersahut ria..
Tak sadar malam tlah larut rupanya..
Duwhhh…nyebut nyebuuuuttt…astaghfirullaah..

2#
Setan terbahak tak kalah hebat..
Melihat ikhwan akhwat makin akrab..
Alasannya sih rapat..
sesekali saling kasih semangat…
Awalnya tadi merasa galau..
Merasa diri kamseupay..
Eh Ada semangat dari si lebay..
Cihuuuyyy… semangat lagi lah yauwww..
pliz deh ukh..
ngapain kasih semangat si itu..
Komen-komen yang tak perlu..
Mending baca buku..
Makin bertambah ilmu..
Pliz deh akh..
tak perlu lah sok peduli dengan si dia..
Ingat amanah dakwah..
Banyak maksiat tak ditolong NYA..
Jangan lagi harap berkah..

3#
ngenet biar update..
Tau perkembangan dunia biar tak kudet..
giliran ditanya isu terkini kok malah melet
Owhhh…internetnya lelet..
Update status tiap kali..
Balas komen tanda saling peduli..
Tebar petuah kebaikan sana –sini..
Eh, udah pada shalat dan tilawah belum ni..??
Wahai akhi wa ukhtiy..
Jangan sia kan peluh di siang hari..
Habis hilang tak berarti..
Hanya karena zina hati..
Benarkah Facebook mu untuk dakwah..
Tuk mengajak pada cahaya-Nya..
Lalu mengapa Teman jejaring mu  serupa semua..
Tak berteman dengan yang di luar lingkaran cahaya..
Epilog
Duhai engkau aktivis dakwah..
Yang niatnya karena Allaah..
Yang teladannya Rasulullaah..
Masih kah Allaahu ghoyatunna..
Atau karena ash shobbiyah..
Atau malah karena akhi/ukhtiyna..
Na’udzubillaah..
Jangan sampai lah yaaa…

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/20451/untukku-mu-juga-dia-jamaah-fesbukiyah-fillaah/#ixzz1uqncA3Ur

Peranan Wanita dalam Islam

Kategori: Bahasan Utama, Keluarga

Belum Ada Komentar // 10 Mei 2012
Persamaan gender yang banyak didengung-dengungkan oleh kaum barat, ternyata telah merasuk ke tubuh kaum muslimah umat ini. Mereka telah tertipu dengan pemikiran kaum barat, bahkan tidak sedikit yang mengekor pemikiran tersebut. Lantas bagaimana sebenarnya peranan wanita islam dalam membangun keluarga atau masyarakat? Mari kita simak tulisan berikut, bagaimana seharusnya wanita membangun sebuah keluarga bahkan Negara?

Peranan wanita dalam keluarga
Keluarga merupakan pondasi dasar penyebaran islam. Dari keluarga lah, muncul pemimpin-pemimpin yang berjihad di jalan Allah, dan akan datang bibit-bibit yang akan berjuang meninggikan kalimat-kalimat Allah. Dan peran terbesar dalam hal tersebut adalah kaum wanita.

Pertama: Wanita sebagai seorang istri
Ketika seorang laki-laki merasa kesulitan, maka sang istri lah yang bisa membantunya. Ketika seorang laki-laki mengalami kegundahan, sang istri lah yang dapat menenangkannya. Dan ketika sang laki-laki mengalami keterpurukan, sang istri lah yang dapat menyemangatinya.
Sungguh, tidak ada yang mempunyai pengaruh terbesar bagi seorang suami melainkan sang istri yang dicintainya.

Mengenai hal ini, contohlah apa yang dilakukan oleh teladan kaum Muslimah, Khadijah Radiyallahu anha dalam mendampingi Rasulullah di masa awal kenabiannya. Ketika Rasulullah merasa ketakutan terhadap wahyu yang diberikan kepadanya, dan merasa kesulitan, lantas apa yang dikatakan Khadijah kepadanya?
“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Tidak ada pangkat tertinggi melainkan pangkat seorang Nabi, dan tidak ada ujian yang paling berat selain ujian menjadi seorang Nabi. Untuk itu, tidak ada obat penenang bagi Rasulullah dalam mengemban amanah nubuwahnya melainkan istri yang sangat dicintainya. Sampai-sampai ketika Aisyah cemburu kepada Khadijah, dan berkata “Kenapa engkau sering menyebut perempuan berpipi merah itu, padahal Allah telah menggantikannya untukmu dengan yang lebih baik?” Lantas Rasulullah marah dan bersabda: “Bagaimana engkau berkata demikian?  Sungguh dia beriman kepadaku pada saat orang-orang menolakku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dia mendermakan seluruh hartanya untukku pada saat semua orang menolak mambantuku, dan Allah memberiku rizki darinya berupa keturunan.” (HR Ahmad dengan Sanad yang Hasan)

Demikianlah kecintaan Rasulullah kepada Khadijah, dan demikianlah seharusnya bagi seorang wanita muslimah di dalam keluarganya. Tidak ada yang diinginkan bagi seorang suami melainkan seorang istri yang dapat menerimanya apa adanya, percaya dan yakin kepadanya dan selalu membantunya ketika sulitnya.
Inilah peran yang seharusnya dilakukan bagi seorang wanita. Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang perlu dilakukan wanita, akan tetapi menjadi pendamping seorang pemimpin (pemimpin rumah tangga atau lainnya) yang dapat membantu, mengarahkan dan menenangkan adalah hal yang sangat mulia jika di dalamnya berisi ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Kedua: Wanita sebagai seorang Ibu
Tidak ada kemulian terbesar yang diberikan Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya menjadi seorang Ibu. Bahkan Rasulullah pun bersabda ketika ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Di dalam rumah, siapakah yang mempunyai banyak waktu untuk anak-anak? Siapakah yang lebih mempunyai pengaruh terhadap anak-anak? Siapakah yang lebih dekat kepada anak-anak? Tidak lain adalah ibu-ibu mereka. Seorang ibu merupakan seseorang yang senantiasa diharapkan kehadirannya bagi anak-anaknya. Seorang ibu dapat menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang baik sebagaimana seorang ibu bisa menjadikan anaknya menjadi orang yang jahat. Baik buruknya seorang anak, dapat dipengaruhi oleh baik atau tidaknya seorang ibu yang menjadi panutan anak-anaknya.
Pernahkah kita membaca kisah-kisah kepahlawanan atau kemulian seseorang? Siapakah dalang di dalam keberhasilan mereka menjadi seorang yang pemberani, ahli ilmu atau bahkan seorang imam? Tidak lain adalah seorang ibu yang membimbingnya.
Mari kita simak perkataan seorang shahabiyah, Khansa ketika melepaskan keempat anaknya ke medan jihad.

“Wahai anak-anakku, kalian telah masuk islam dengan sukarela dan telah hijrah berdasarkan keinginan kalian. Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra dari ayah yang sama dan dari ibu yang sama, nasab kalian tidak berbeda. Ketahuilah bahwa seseungguhnya akhirat itu lebih baik dari dunia yang fana. Bersabarlah, tabahlah dan teguhkanlah hati kalian serta bertaqwalah kepada Allah agar kalian beruntung. Jika kalian menemui peperangan, maka masuklah ke dalam kancah peperangan itu dan raihlah kemenangan dan kemuliaan di alam yang kekal dan penuh kenikmatan”

Keesokan harinya, masuklah keempat anak tersebut dalam medan pertempuran dengan hati yang masih ragu-ragu, lalu salah seorang dari mereka mengingatkan saudara-saudaranya akan wasiat yang disampaikan oleh ibu mereka. Mereka pun bertempur bagaikan singa dan menyerbu bagaikan anak panah dengan gagah berani dan tidak pernah surut setapak pun hingga mereka memperoleh syahadah fii sabilillah satu per satu. (Sirah Shahabiyah hal 742, Pustaka As-Sunnah)

Inilah kekuatan seorang ibu yang diberikan kepada anak-anaknya. Tatkala sang anak merasa ragu akan hal yang ingin diperbuatnya, namun mereka teringat akan nasehat ibu mereka, maka semua keraguan itu menjadi hilang, yang ada hanya semangat dan keyakinan akan harapan seorang ibu.
Demikianlah peran mulia seorang ibu, dan tidak ada peran yang lebih mendatangkan pahala yang banyak melainkan peran mendidik anak-anaknya menjadi anak yang diridhoi Allah dan rasulnya. Karena anak-anaknya lah sumber pahala dirinya dan sumber kebaikan untuknya.

Ketahuilah, banyak dikalangan orang-orang besar, bahkan sebagian para imam dan ahli ilmu merupakan orang-orang yatim, yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Dan lihatlah hasil yang di dapatkannya. Mereka berkembang menjadi seorang ahli ilmu dan para imam kaum muslimin. Sebut saja, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Al-Bukhori dll adalah para ulama yang dibesarkan hanya dari seorang ibu. Karena kasih sayang, pendidikan yang baik dan doa dari seorang ibu merupakan kekuatan yang dapat menyemangati anak-anak mereka dalam kebaikan.

Tahukah para pembaca dengan Imam Shalat Masjidil Haram, Asy-Syaikh Sudais? Apa yang melatarbelakangi beliau menjadi Imam shalat Masjidil Haram? Tidak lain adalah karena harapan dan doa dari ibu beliau. Seorang ibu yang terus menerus memotivasi anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, telah membuat tekad Syaikh Sudais kecil menjadi besar dan membuatnya bersemangat untuk menghafalkan quran dan selalu berusaha agar keinginannya dan keinginan ibunya tercapai untuk menjadi Imam Masjidil Haram.

Pernahkan para pembaca membaca kisahnya seorang tabi’in Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi? Seorang ulama yang ditinggalkan oleh ayahnya untuk berjihad selama 30 tahun dan hidup bersama ibunya. Dengan bekal yang diberikan oleh sang ayah, namun dihabiskan hanya untuk pendidikan anaknya oleh ibunya, menjadikan sang anak berkembang menjadi seorang ulama dan pemuka Madinah, yang bahkan Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah, An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’I, Laits bin Sa’id dan lainnya. Hal ini karena pengaruh dari seorang ibu yang sholehah yang mendidik anaknya dengan sangat baik.

Ini adalah segelintir kisah-kisah yang mengagumkan akan pengaruh yang amat besar dari seorang ibu, dan masih banyak kisah-kisah lainnya jika kita mau mencari dan membacanya.
Karenanya, jika para wanita sadar akan pentingnya dan sibuknya kehidupan di keluarga, niscaya mereka tidak akan mempunyai waktu untuk mengurusi hal-hal di luar keluarganya. Apalagi berangan-angan untuk menggantikan posisi laki-laki dalam mencari nafkah.

Peranan wanita dalam masyarakat dan Negara
Wanita disamping perannya dalam keluarga, ia juga bisa mempunyai peran lainnya di dalam masyarakat dan Negara. Jika ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu agama, maka wajib baginya untuk mendakwahkan apa yang ia ketahui kepada kaum wanita lainnya. Begitu pula jika ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang tertentu, maka ia bisa mempunyai andil dalam urusan tersebut namun dengan batasan-batasan yang telah disyariatkan dan tentunya setelah kewajibannya sebagai ibu rumah tangga telah terpenuhi.
Banyak hal yang bisa dilakukan kaum wanita dalam masyarakat dan Negara, dan ia punya perannya masing-masing yang tentunya berbeda dengan kaum laki-laki. Hal ini sebagaimana yang dilakukan para shahabiyah nabi.

Pada jaman nabi, para shahabiyah biasa menjadi perawat ketika terjadi peperangan, atau sekedar menjadi penyemangat kaum muslimin, walaupun tidak sedikit pula dari mereka yang juga ikut berjuang berperang menggunakan senjata untuk mendapatkan syahadah fii sabilillah, seperti Shahabiyah Ummu Imarah yang berjuang melindungi Rasulullah dalam peperangan.
Sehingga dalam hal ini, peran wanita adalah sebagai penopang dan sandaran kaum laki-laki dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Penutup
Jika kita melihat akan keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah untuk kaum wanita, maka jelaslah bahwa wanita merupakan tumpuan dasar kemuliaan suatu masyarakat bahkan Negara. Masyarakat atau Negara yang baik dapat terlihat dari baiknya perempuan di dalam Negara tersebut dan begitupun sebaliknya.
Karenanya, peran wanita baik dalam keluarga atau masyarakat merupakan peran yang sangat agung yang tidak sepantasnya kaum wanita untuk menyepelekannya.
Persamaan gender yang didengungkan oleh kaum barat, tidak lain adalah untuk menghancurkan pondasi keislaman seorang muslimah, sehingga ia meninggalkan kewajibannya sebagai seorang wanita.
Ingatlah, Pemimpin-pemimpin yang adil dan generasi-generasi yang baik akan muncul seiring dengan baiknya kaum wanita pada waktu tersebut.
Semoga tulisan ini bermanfaat.

Penulis: Rian Permana
Artikel Muslim.Or.Id

Peranan Wanita dalam Islam

Belum Ada Komentar // 10 Mei 2012
Persamaan gender yang banyak didengung-dengungkan oleh kaum barat, ternyata telah merasuk ke tubuh kaum muslimah umat ini. Mereka telah tertipu dengan pemikiran kaum barat, bahkan tidak sedikit yang mengekor pemikiran tersebut. Lantas bagaimana sebenarnya peranan wanita islam dalam membangun keluarga atau masyarakat? Mari kita simak tulisan berikut, bagaimana seharusnya wanita membangun sebuah keluarga bahkan Negara?
Peranan wanita dalam keluarga
Keluarga merupakan pondasi dasar penyebaran islam. Dari keluarga lah, muncul pemimpin-pemimpin yang berjihad di jalan Allah, dan akan datang bibit-bibit yang akan berjuang meninggikan kalimat-kalimat Allah. Dan peran terbesar dalam hal tersebut adalah kaum wanita.
Pertama: Wanita sebagai seorang istri
Ketika seorang laki-laki merasa kesulitan, maka sang istri lah yang bisa membantunya. Ketika seorang laki-laki mengalami kegundahan, sang istri lah yang dapat menenangkannya. Dan ketika sang laki-laki mengalami keterpurukan, sang istri lah yang dapat menyemangatinya.
Sungguh, tidak ada yang mempunyai pengaruh terbesar bagi seorang suami melainkan sang istri yang dicintainya.
Mengenai hal ini, contohlah apa yang dilakukan oleh teladan kaum Muslimah, Khadijah Radiyallahu anha dalam mendampingi Rasulullah di masa awal kenabiannya. Ketika Rasulullah merasa ketakutan terhadap wahyu yang diberikan kepadanya, dan merasa kesulitan, lantas apa yang dikatakan Khadijah kepadanya?
“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Tidak ada pangkat tertinggi melainkan pangkat seorang Nabi, dan tidak ada ujian yang paling berat selain ujian menjadi seorang Nabi. Untuk itu, tidak ada obat penenang bagi Rasulullah dalam mengemban amanah nubuwahnya melainkan istri yang sangat dicintainya. Sampai-sampai ketika Aisyah cemburu kepada Khadijah, dan berkata “Kenapa engkau sering menyebut perempuan berpipi merah itu, padahal Allah telah menggantikannya untukmu dengan yang lebih baik?” Lantas Rasulullah marah dan bersabda: “Bagaimana engkau berkata demikian?  Sungguh dia beriman kepadaku pada saat orang-orang menolakku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dia mendermakan seluruh hartanya untukku pada saat semua orang menolak mambantuku, dan Allah memberiku rizki darinya berupa keturunan.” (HR Ahmad dengan Sanad yang Hasan)
Demikianlah kecintaan Rasulullah kepada Khadijah, dan demikianlah seharusnya bagi seorang wanita muslimah di dalam keluarganya. Tidak ada yang diinginkan bagi seorang suami melainkan seorang istri yang dapat menerimanya apa adanya, percaya dan yakin kepadanya dan selalu membantunya ketika sulitnya.
Inilah peran yang seharusnya dilakukan bagi seorang wanita. Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang perlu dilakukan wanita, akan tetapi menjadi pendamping seorang pemimpin (pemimpin rumah tangga atau lainnya) yang dapat membantu, mengarahkan dan menenangkan adalah hal yang sangat mulia jika di dalamnya berisi ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Wanita sebagai seorang Ibu
Tidak ada kemulian terbesar yang diberikan Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya menjadi seorang Ibu. Bahkan Rasulullah pun bersabda ketika ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Di dalam rumah, siapakah yang mempunyai banyak waktu untuk anak-anak? Siapakah yang lebih mempunyai pengaruh terhadap anak-anak? Siapakah yang lebih dekat kepada anak-anak? Tidak lain adalah ibu-ibu mereka. Seorang ibu merupakan seseorang yang senantiasa diharapkan kehadirannya bagi anak-anaknya. Seorang ibu dapat menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang baik sebagaimana seorang ibu bisa menjadikan anaknya menjadi orang yang jahat. Baik buruknya seorang anak, dapat dipengaruhi oleh baik atau tidaknya seorang ibu yang menjadi panutan anak-anaknya.
Pernahkah kita membaca kisah-kisah kepahlawanan atau kemulian seseorang? Siapakah dalang di dalam keberhasilan mereka menjadi seorang yang pemberani, ahli ilmu atau bahkan seorang imam? Tidak lain adalah seorang ibu yang membimbingnya.
Mari kita simak perkataan seorang shahabiyah, Khansa ketika melepaskan keempat anaknya ke medan jihad.
“Wahai anak-anakku, kalian telah masuk islam dengan sukarela dan telah hijrah berdasarkan keinginan kalian. Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra dari ayah yang sama dan dari ibu yang sama, nasab kalian tidak berbeda. Ketahuilah bahwa seseungguhnya akhirat itu lebih baik dari dunia yang fana. Bersabarlah, tabahlah dan teguhkanlah hati kalian serta bertaqwalah kepada Allah agar kalian beruntung. Jika kalian menemui peperangan, maka masuklah ke dalam kancah peperangan itu dan raihlah kemenangan dan kemuliaan di alam yang kekal dan penuh kenikmatan”
Keesokan harinya, masuklah keempat anak tersebut dalam medan pertempuran dengan hati yang masih ragu-ragu, lalu salah seorang dari mereka mengingatkan saudara-saudaranya akan wasiat yang disampaikan oleh ibu mereka. Mereka pun bertempur bagaikan singa dan menyerbu bagaikan anak panah dengan gagah berani dan tidak pernah surut setapak pun hingga mereka memperoleh syahadah fii sabilillah satu per satu. (Sirah Shahabiyah hal 742, Pustaka As-Sunnah)
Inilah kekuatan seorang ibu yang diberikan kepada anak-anaknya. Tatkala sang anak merasa ragu akan hal yang ingin diperbuatnya, namun mereka teringat akan nasehat ibu mereka, maka semua keraguan itu menjadi hilang, yang ada hanya semangat dan keyakinan akan harapan seorang ibu.
Demikianlah peran mulia seorang ibu, dan tidak ada peran yang lebih mendatangkan pahala yang banyak melainkan peran mendidik anak-anaknya menjadi anak yang diridhoi Allah dan rasulnya. Karena anak-anaknya lah sumber pahala dirinya dan sumber kebaikan untuknya.
Ketahuilah, banyak dikalangan orang-orang besar, bahkan sebagian para imam dan ahli ilmu merupakan orang-orang yatim, yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Dan lihatlah hasil yang di dapatkannya. Mereka berkembang menjadi seorang ahli ilmu dan para imam kaum muslimin. Sebut saja, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Al-Bukhori dll adalah para ulama yang dibesarkan hanya dari seorang ibu. Karena kasih sayang, pendidikan yang baik dan doa dari seorang ibu merupakan kekuatan yang dapat menyemangati anak-anak mereka dalam kebaikan.
Tahukah para pembaca dengan Imam Shalat Masjidil Haram, Asy-Syaikh Sudais? Apa yang melatarbelakangi beliau menjadi Imam shalat Masjidil Haram? Tidak lain adalah karena harapan dan doa dari ibu beliau. Seorang ibu yang terus menerus memotivasi anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, telah membuat tekad Syaikh Sudais kecil menjadi besar dan membuatnya bersemangat untuk menghafalkan quran dan selalu berusaha agar keinginannya dan keinginan ibunya tercapai untuk menjadi Imam Masjidil Haram.
Pernahkan para pembaca membaca kisahnya seorang tabi’in Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi? Seorang ulama yang ditinggalkan oleh ayahnya untuk berjihad selama 30 tahun dan hidup bersama ibunya. Dengan bekal yang diberikan oleh sang ayah, namun dihabiskan hanya untuk pendidikan anaknya oleh ibunya, menjadikan sang anak berkembang menjadi seorang ulama dan pemuka Madinah, yang bahkan Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah, An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’I, Laits bin Sa’id dan lainnya. Hal ini karena pengaruh dari seorang ibu yang sholehah yang mendidik anaknya dengan sangat baik.
Ini adalah segelintir kisah-kisah yang mengagumkan akan pengaruh yang amat besar dari seorang ibu, dan masih banyak kisah-kisah lainnya jika kita mau mencari dan membacanya.
Karenanya, jika para wanita sadar akan pentingnya dan sibuknya kehidupan di keluarga, niscaya mereka tidak akan mempunyai waktu untuk mengurusi hal-hal di luar keluarganya. Apalagi berangan-angan untuk menggantikan posisi laki-laki dalam mencari nafkah.
Peranan wanita dalam masyarakat dan Negara
Wanita disamping perannya dalam keluarga, ia juga bisa mempunyai peran lainnya di dalam masyarakat dan Negara. Jika ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu agama, maka wajib baginya untuk mendakwahkan apa yang ia ketahui kepada kaum wanita lainnya. Begitu pula jika ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang tertentu, maka ia bisa mempunyai andil dalam urusan tersebut namun dengan batasan-batasan yang telah disyariatkan dan tentunya setelah kewajibannya sebagai ibu rumah tangga telah terpenuhi.
Banyak hal yang bisa dilakukan kaum wanita dalam masyarakat dan Negara, dan ia punya perannya masing-masing yang tentunya berbeda dengan kaum laki-laki. Hal ini sebagaimana yang dilakukan para shahabiyah nabi.
Pada jaman nabi, para shahabiyah biasa menjadi perawat ketika terjadi peperangan, atau sekedar menjadi penyemangat kaum muslimin, walaupun tidak sedikit pula dari mereka yang juga ikut berjuang berperang menggunakan senjata untuk mendapatkan syahadah fii sabilillah, seperti Shahabiyah Ummu Imarah yang berjuang melindungi Rasulullah dalam peperangan.
Sehingga dalam hal ini, peran wanita adalah sebagai penopang dan sandaran kaum laki-laki dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Penutup
Jika kita melihat akan keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah untuk kaum wanita, maka jelaslah bahwa wanita merupakan tumpuan dasar kemuliaan suatu masyarakat bahkan Negara. Masyarakat atau Negara yang baik dapat terlihat dari baiknya perempuan di dalam Negara tersebut dan begitupun sebaliknya.
Karenanya, peran wanita baik dalam keluarga atau masyarakat merupakan peran yang sangat agung yang tidak sepantasnya kaum wanita untuk menyepelekannya.
Persamaan gender yang didengungkan oleh kaum barat, tidak lain adalah untuk menghancurkan pondasi keislaman seorang muslimah, sehingga ia meninggalkan kewajibannya sebagai seorang wanita.
Ingatlah, Pemimpin-pemimpin yang adil dan generasi-generasi yang baik akan muncul seiring dengan baiknya kaum wanita pada waktu tersebut.
Semoga tulisan ini bermanfaat.

Penulis: Rian Permana
Artikel Muslim.Or.Id

Senin, 07 Mei 2012

Shalat Istikharah Ketika Ingin Memilih atau Telah Mantap pada Pilihan?



Belum Ada Komentar // 5 Mei 2012
Dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengajari kami shalat istikharah dalam setiap perkara /  urusan yang kami hadapai, sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Quran. Beliau berkata, “Jika salah seorang di antara kalian berniat dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah…”. (HR. Al-Bukhari)

Para pembaca sekalian, hadits di atas merupakan hadits yang agung. Karena di dalamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya apabila menemui suatu perkara / urusan, maka hendaknya melakukan shalat istikharah. Namun yang menjadi poin bahasan kali ini adalah dua hal saja, yaitu hanya pada tulisan yang diberi cetak lebih tebal dari yang lain.

Yang pertama, Nabi memgajarkan shalat istikharah dalam setiap perkara / urusan. Jadi tidak benar ada anggapan bahwa shalat istihkarah hanya dilakukan terbatas untuk urusan yang meragukannya, sehingga ia perlu melakukan shalat istikharah. Karena dalam bahasa Arab, kata كل memiliki arti setiap / semua.
Kedua, sebagian orang salah paham dalam melaksanakan shalat istikharah. Sebagian dari mereka melakukan shalat istikharah ketika dihadapkan kepada pilihan yang sulit atau meragukannya. Padahal ini kurang tepat, karena yang tepat adalah ketika seseorang telah mantap hatinya dengan keputusan yang ia ambil dalam urusan yang dihadapinya.

Kata هَمَّ (sebagaimana yang saya lihat dalam kamus Arab-Indonesia karya Mahmud Yunus) memiliki arti berniat. Karena sebagian orang mengartikannya dengan menghadapi, padahal jika diartikan demikian, maka shalat istikharah dilakukan sebelum hati mantap dengan keputusan. Padahal shalat istikharah dilakukan saat hati telah mantap dengan keputusan.

Apa hikmahnya ketika shalat istikharah dilakukan saat hati telah mantap? Jawaban yang saya dapatkan berasal dari penjelasan Al-Ustadz Aris Munandar dalam sesi tanya-jawab kajian rutin pagi. Beliau menuturkan jawaban dengan dua alasan.
  1. Jika seseorang telah mantap dengan suatu urusan, maka ia memohon kepada Allah, apabila urusannya tersebut baik dan diridhai oleh Allah, maka Allah akan mempermudah jalannya untuk mendapatkan perkara tersebut.
  2. Jika perkara tersebut tidaklah baik baginya, Allah akan datangkan penghalang dan pencegah baginya, sehingga ia akan dicegah untuk melaksanakan urusan tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Bahasan selengkapnya mengenai Panduan Shalat Istikhoroh.

Penulis: Wiwit Hardi P.
Artikel Muslim.Or.Id